Belut Raksasa Morea Dari Ambon, Dibiarkan Hidup Bersama Manusia
Belut raksasa dari Ambon ini disebut Morea di sana, seberapa besar ukuran belut yang pernah anda liat, apa 30 cm, apakah anda percaya ada belut berukuran 1 sampai 3 meter dan besar sekali dan menakutkan. Belut ini sebenarnya ikan Sidat, apa itu, mungkinkah siluman belut, ada yang menyebut hewan ini dengan sebutan sidat, enak juga untuk di makan, bahkan dagingnya cukup mahal.

Belut besar dan panjang, belut besar ini disebut Morea oleh penduduk pulau Ambon. Terutama di desa Waai, Kecamatan Salahutu. Menurut wikipedia, dengan nama Latin dari belut Kita tahu tahu nama Kerajaan: Animalia, Kaum: Chordata, Ikan bertulang, pesanan: Synbranchiformes, Upaordo: Synbranchoidei, keluarga Synbranchidae.
Belut adalah ikan seperti sekelompok ular dari batang Synbranchidae ditandai. Suku ini terdiri dari empat genus dengan 20 spesies. Pilihan Anda adalah banyak yang tidak sepenuhnya dijelaskan, sehingga angka-angka bisa berubah. Anggotanya adalah pantropis, ditemukan di semua wilayah tropis.
Menurut Wikipedia, tinggi bervariasi. Monopterus indicus cm 8,5, sedangkan belut marmer Synbranchus marmoratus, diketahui mencapai 1,5 m. Sawah belut itu sendiri, yang umum di sawah dan dijual untuk dimakan, bisa mencapai panjang sekitar 1 meter.
Jadi berbeda dengan yang ditemukan dalam belut rawa dan beras Morea tinggal di air tawar. Di desa ada pemandian Waai dan sumber air bersih mata air alami digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar.
Di Ambon, terdapat sebuah fenomena alam sekaligus tradisi budaya yang menarik perhatian wisatawan, yaitu keberadaan ikan sidat raksasa atau sidat morea yang hidup di sungai-sungai tertentu dan dijaga dengan penuh penghormatan oleh masyarakat setempat.
Sidat ini bukan sekadar hewan air biasa, bagi warga Ambon, terutama di beberapa desa seperti Waai dan Tulehu, sidat morea dianggap sebagai penjaga alam sekaligus simbol kedamaian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Sidat morea di Ambon hidup di sungai jernih yang bersumber langsung dari pegunungan, seperti di Sungai Wae Salah di Desa Waai. Di tempat ini, airnya sangat bening, dingin, dan tidak pernah surut meskipun musim kemarau tiba.
Di dalam sungai itulah hidup sidat-sidat besar dengan panjang bisa mencapai dua hingga tiga meter dan tubuh yang menyerupai ular, tetapi licin seperti ikan. Masyarakat sekitar percaya bahwa morea tersebut adalah hewan keramat yang tidak boleh diganggu, ditangkap, apalagi dimakan.
Menurut cerita turun-temurun, sidat morea di Waai telah hidup di sungai itu selama ratusan tahun, bahkan diyakini sebagai jelmaan makhluk penjaga desa.
Penduduk setempat meyakini bahwa selama morea tersebut tetap hidup dan dijaga, desa akan terhindar dari bencana dan rezeki akan selalu mengalir. Karena kepercayaan itu, warga membangun semacam tradisi penghormatan dan perlindungan terhadap sidat.
Mereka memperlakukan hewan ini seperti tamu kehormatan, tidak hanya dijaga, tetapi juga diberi makan dengan cara khusus, biasanya menggunakan telur ayam mentah yang dilemparkan ke air oleh pemandu lokal.
Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari kepercayaan spiritual, tetapi juga berkembang menjadi objek wisata budaya yang unik. Banyak wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, datang ke Waai untuk melihat langsung sidat-sidat besar yang jinak dan bersahabat dengan manusia.
Menariknya, pengunjung bisa memanggil sidat keluar dari persembunyiannya di antara batu-batu besar dengan bantuan pemandu lokal yang sudah terbiasa melakukan ritual kecil sebelum memberi makan.
Sidat-sidat itu akan muncul perlahan dari dasar air yang jernih, memperlihatkan tubuhnya yang panjang berkilau kehitaman, pemandangan yang selalu memukau siapa pun yang melihatnya.
Bagi masyarakat Ambon, menjaga sidat morea bukan hanya soal mempertahankan kepercayaan leluhur, tetapi juga bentuk nyata dari pelestarian ekosistem air dan kearifan lokal.
Sungai tempat hidupnya selalu dijaga kebersihannya. Tidak ada yang boleh membuang sampah atau melakukan aktivitas yang bisa merusak habitat sidat. Anak-anak pun sejak kecil diajarkan untuk menghormati makhluk itu dan tidak bermain kasar di sekitar sungai.
Inilah bentuk kearifan masyarakat adat Maluku dalam menjaga keseimbangan alam dan spiritualitasnya secara bersamaan.
Selain nilai budaya, sidat morea juga memiliki nilai ekologis yang tinggi. Sidat merupakan indikator air bersih, mereka hanya bisa hidup di lingkungan yang memiliki oksigen cukup dan kualitas air yang baik.
Karena itu, keberadaan sidat-sidat besar di Waai menunjukkan bahwa sungai tersebut masih alami dan sehat. Pemerintah daerah Maluku dan komunitas adat setempat pun kini mulai menjadikan kawasan ini sebagai daerah konservasi alami, agar populasi sidat tetap terjaga dan tidak punah akibat eksploitasi atau perubahan lingkungan.
Dalam konteks pariwisata, sidat morea menjadi ikon khas Ambon yang tidak ditemukan di tempat lain. Wisatawan tidak hanya datang untuk melihat keindahan alamnya, tetapi juga untuk merasakan kedamaian dan spiritualitas yang mengelilingi lokasi tersebut.
Banyak pengunjung yang mengaku terpesona dengan perilaku masyarakat yang begitu penuh hormat terhadap hewan itu, seolah ada hubungan batin antara manusia dan alam yang sudah terbentuk sejak lama.
Secara keseluruhan, kisah tentang sidat morea yang dijaga di Ambon adalah contoh luar biasa dari perpaduan antara mitos, tradisi, dan pelestarian alam.
Ia menunjukkan bahwa di tengah modernisasi, masih ada masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur dalam menjaga hubungan harmonis dengan makhluk lain.
Sidat morea bukan hanya simbol kebudayaan lokal Maluku, tetapi juga cermin betapa indahnya keseimbangan antara manusia dan alam jika dijaga dengan kepercayaan dan kasih sayang.

Belut besar dan panjang, belut besar ini disebut Morea oleh penduduk pulau Ambon. Terutama di desa Waai, Kecamatan Salahutu. Menurut wikipedia, dengan nama Latin dari belut Kita tahu tahu nama Kerajaan: Animalia, Kaum: Chordata, Ikan bertulang, pesanan: Synbranchiformes, Upaordo: Synbranchoidei, keluarga Synbranchidae.
Belut adalah ikan seperti sekelompok ular dari batang Synbranchidae ditandai. Suku ini terdiri dari empat genus dengan 20 spesies. Pilihan Anda adalah banyak yang tidak sepenuhnya dijelaskan, sehingga angka-angka bisa berubah. Anggotanya adalah pantropis, ditemukan di semua wilayah tropis.
Menurut Wikipedia, tinggi bervariasi. Monopterus indicus cm 8,5, sedangkan belut marmer Synbranchus marmoratus, diketahui mencapai 1,5 m. Sawah belut itu sendiri, yang umum di sawah dan dijual untuk dimakan, bisa mencapai panjang sekitar 1 meter.
Jadi berbeda dengan yang ditemukan dalam belut rawa dan beras Morea tinggal di air tawar. Di desa ada pemandian Waai dan sumber air bersih mata air alami digunakan sebagai kebutuhan sehari-hari masyarakat sekitar.
Di Ambon, terdapat sebuah fenomena alam sekaligus tradisi budaya yang menarik perhatian wisatawan, yaitu keberadaan ikan sidat raksasa atau sidat morea yang hidup di sungai-sungai tertentu dan dijaga dengan penuh penghormatan oleh masyarakat setempat.
Sidat ini bukan sekadar hewan air biasa, bagi warga Ambon, terutama di beberapa desa seperti Waai dan Tulehu, sidat morea dianggap sebagai penjaga alam sekaligus simbol kedamaian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan.
Sidat morea di Ambon hidup di sungai jernih yang bersumber langsung dari pegunungan, seperti di Sungai Wae Salah di Desa Waai. Di tempat ini, airnya sangat bening, dingin, dan tidak pernah surut meskipun musim kemarau tiba.
Di dalam sungai itulah hidup sidat-sidat besar dengan panjang bisa mencapai dua hingga tiga meter dan tubuh yang menyerupai ular, tetapi licin seperti ikan. Masyarakat sekitar percaya bahwa morea tersebut adalah hewan keramat yang tidak boleh diganggu, ditangkap, apalagi dimakan.
Menurut cerita turun-temurun, sidat morea di Waai telah hidup di sungai itu selama ratusan tahun, bahkan diyakini sebagai jelmaan makhluk penjaga desa.
Penduduk setempat meyakini bahwa selama morea tersebut tetap hidup dan dijaga, desa akan terhindar dari bencana dan rezeki akan selalu mengalir. Karena kepercayaan itu, warga membangun semacam tradisi penghormatan dan perlindungan terhadap sidat.
Mereka memperlakukan hewan ini seperti tamu kehormatan, tidak hanya dijaga, tetapi juga diberi makan dengan cara khusus, biasanya menggunakan telur ayam mentah yang dilemparkan ke air oleh pemandu lokal.
Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari kepercayaan spiritual, tetapi juga berkembang menjadi objek wisata budaya yang unik. Banyak wisatawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, datang ke Waai untuk melihat langsung sidat-sidat besar yang jinak dan bersahabat dengan manusia.
Menariknya, pengunjung bisa memanggil sidat keluar dari persembunyiannya di antara batu-batu besar dengan bantuan pemandu lokal yang sudah terbiasa melakukan ritual kecil sebelum memberi makan.
Sidat-sidat itu akan muncul perlahan dari dasar air yang jernih, memperlihatkan tubuhnya yang panjang berkilau kehitaman, pemandangan yang selalu memukau siapa pun yang melihatnya.
Bagi masyarakat Ambon, menjaga sidat morea bukan hanya soal mempertahankan kepercayaan leluhur, tetapi juga bentuk nyata dari pelestarian ekosistem air dan kearifan lokal.
Sungai tempat hidupnya selalu dijaga kebersihannya. Tidak ada yang boleh membuang sampah atau melakukan aktivitas yang bisa merusak habitat sidat. Anak-anak pun sejak kecil diajarkan untuk menghormati makhluk itu dan tidak bermain kasar di sekitar sungai.
Inilah bentuk kearifan masyarakat adat Maluku dalam menjaga keseimbangan alam dan spiritualitasnya secara bersamaan.
Selain nilai budaya, sidat morea juga memiliki nilai ekologis yang tinggi. Sidat merupakan indikator air bersih, mereka hanya bisa hidup di lingkungan yang memiliki oksigen cukup dan kualitas air yang baik.
Karena itu, keberadaan sidat-sidat besar di Waai menunjukkan bahwa sungai tersebut masih alami dan sehat. Pemerintah daerah Maluku dan komunitas adat setempat pun kini mulai menjadikan kawasan ini sebagai daerah konservasi alami, agar populasi sidat tetap terjaga dan tidak punah akibat eksploitasi atau perubahan lingkungan.
Dalam konteks pariwisata, sidat morea menjadi ikon khas Ambon yang tidak ditemukan di tempat lain. Wisatawan tidak hanya datang untuk melihat keindahan alamnya, tetapi juga untuk merasakan kedamaian dan spiritualitas yang mengelilingi lokasi tersebut.
Banyak pengunjung yang mengaku terpesona dengan perilaku masyarakat yang begitu penuh hormat terhadap hewan itu, seolah ada hubungan batin antara manusia dan alam yang sudah terbentuk sejak lama.
Secara keseluruhan, kisah tentang sidat morea yang dijaga di Ambon adalah contoh luar biasa dari perpaduan antara mitos, tradisi, dan pelestarian alam.
Ia menunjukkan bahwa di tengah modernisasi, masih ada masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai leluhur dalam menjaga hubungan harmonis dengan makhluk lain.
Sidat morea bukan hanya simbol kebudayaan lokal Maluku, tetapi juga cermin betapa indahnya keseimbangan antara manusia dan alam jika dijaga dengan kepercayaan dan kasih sayang.
Belut Raksasa Morea Dari Ambon, Dibiarkan Hidup Bersama Manusia
 Reviewed by Pendulum Dunia
        on 
        
12/02/2012 08:30:00 AM
 
        Rating:
 
        Reviewed by Pendulum Dunia
        on 
        
12/02/2012 08:30:00 AM
 
        Rating: 
 Reviewed by Pendulum Dunia
        on 
        
12/02/2012 08:30:00 AM
 
        Rating:
 
        Reviewed by Pendulum Dunia
        on 
        
12/02/2012 08:30:00 AM
 
        Rating: 

